Sabtu, 07 Mei 2011

Penyembelihan dan penebusan


Letak Mekah - Ibrahim dan Ismail - Kisah penyembelihan
   dan penebusan - Zamzam - Perkawinan Ismail dengan
   Jurhum - Pembangunan Ka'bah - Mekah di bawah Jurhum -
   Qushay dan anak-anaknya - Mekah di tangan Qushay -
   Hasyim dan Abdul Muttalib - Tugas-tugas duniawi dan
   agama di Mekah - Berhaji ke Mekah - Kisah Abraha dan
   gajah - Abdullah bin Abdul Muttalib - Kisah
   penebusannya.

DI TENGAH-TENGAH jalan kafilah  yang  berhadapan  dengan  Laut
Merah  -  antara  Yaman dan Palestina - membentang bukit-bukit
barisan sejauh kira-kira delapanpuluh kilometer  dari  pantai.
Bukit-bukit  ini  mengelilingi sebuah lembah yang tidak begitu
luas, yang hampir-hampir terkepung samasekali oleh bukit-bukit
itu  kalau  tidak  dibuka  oleh tiga buah jalan: pertama jalan
menuju  ke  Yaman,  yang  kedua  jalan  dekat  Laut  Merah  di
pelabuhan Jedah, yang ketiga jalan yang menuju ke Palestina.

Dalam  lembah  yang terkepung oleh bukit-bukit itulah terletak
Mekah. Untuk mengetahui sejarah dibangunnya kota  ini  sungguh
sukar  sekali. Mungkin sekali ia bertolak ke masa ribuan tahun
yang lalu. Yang pasti, lembah  itu  digunakan  sebagai  tempat
perhentian  kafilah  sambil beristirahat, karena di tempat itu
terdapat sumber mata air. Dengan demikian  rornbongan  kafilah
itu  membentangkan  kemah-kemah  mereka, baik yang datang dari
jurusan Yaman menuju Palestina atau yang datang dari Palestina
menuju  Yaman.  Mungkin  sekali  Ismail anak Ibrahim itu orang
pertama  yang  menjadikannya  sebagai  tempat  tinggal,   yang
sebelum  itu  hanya  dijadikan  tempat  kafilah  lalu saja dan
tempat perdagangan secara  tukar-menukar  antara  yang  datang
dari  arah  selatan  jazirah  dengan  yang  bertolak dari arah
utara.

Kalau  Ismail  adalah  orang  pertama  yang  menjadikan  Mekah
sebagai  tempat  tinggal,  maka sejarah tempat ini sebelum itu
gelap sekali. Mungkin dapat juga dikatakan, bahwa  daerah  ini
dipakai  tempat  ibadat juga sebelum Ismail datang dan menetap
di tempat itu. Kisah  kedatangannya  ketempat  itupun  memaksa
kita membawa kisah Ibrahim a.s. secara ringkas.

Ibrahim  dilahirkan di Irak (Chaldea) dari ayah seorang tukang
kayu pembuat patung. Patung-patung itu kemudian dijual  kepada
masyarakatnya sendiri, lalu disembah. Sesudah ia remaja betapa
ia melihat patung-patung yang dibuat oleh ayahnya itu kemudian
disembah  oleh  masyarakat  dan  betapa pula mereka memberikan
rasa  hormat  dan  kudus  kepada  sekeping  kayu  yang  pernah
dikerjakan  ayahnya itu. Rasa syak mulai timbul dalam hatinya.
Kepada ayahnya ia pernah bertanya, bagaimana  hasil  kerajinan
tangannya itu sampai disembah orang?

Kemudian  Ibrahim  menceritakan  hal  itu  kepada  orang lain.
Ayahnyapun  sangat  memperhatikan  tingkah-laku  anaknya  itu;
karena  ia  kuatir hal ini akan rnenghancurkan perdagangannya.
Ibrahim sendiri orang yang percaya kepada akal pikirannya.  Ia
ingin    membuktikan    kebenaran   pendapatnya   itu   dengan
alasan-alasan yang dapat  diterima.  Ia  mengambil  kesempatan
ketika  orang  sedang  lengah. Ia pergi menghampiri sang dewa,
dan berhala  itu  dihancurkan,  kecuali  berhala  yang  paling
besar. Setelah diketahui orang, mereka berkata kepadanya:

"Engkaukah  yang  melakukan  itu  terhadap dewa-dewa kami, hai
Ibrahim?" Dia menjawab: "Tidak. Itu dilakukan oleh yang paling
besar diantara mereka. Tanyakanlah kepada mereka, kalau memang
mereka bisa bicara." (Qur'an, 21: 62-63)

Ibrahim melakukan itu sesudah ia  memikirkan  betapa  sesatnya
mereka  menyembah  berhala,  sebaliknya  siapa yang seharusnya
mereka sembah.

"Bila  malam  sudah  gelap,  dilihatnya  sebuah  bintang.   Ia
berkata:  Inilah Tuhanku. Tetapi bilamana bintang itu kemudian
terbenam, iapun  berkata:  'Aku  tidak  menyukai  segala  yang
terbenam.' Dan setelah dilihatnya bulan terbit, iapun berkata:
'Inilah Tuhanku.' Tetapi bilamana bulan itu kemudian terbenam,
iapun  berkata:  'Kalau Tuhan tidak memberi petunjuk kepadaku,
pastilah aku akan jadi sesat.' Dan setelah dilihatnya matahari
terbit,  iapun  berkata:  'Ini Tuhanku. Ini yang lebih besar.'
Tetapi bilamana matahari itu  juga  kemudian  terbenam,  iapun
berkata:  'Oh  kaumku. Aku lepas tangan terhadap apa yang kamu
persekutukan itu. Aku mengarahkan wajahku  hanya  kepada  yang
telah  menciptakan  semesta  langit  dan  bumi  ini. Aku tidak
termasuk mereka yang mempersekutukan Tuhan." (Qur'an 6: 76-79)

Ibrahim  tidak  berhasil  mengajak  masyarakatnya  itu.  Malah
sebagai  balasan  ia  dicampakkan  ke  dalam api. Tetapi Tuhan
masih menyelamatkannya. Ia lari ke Palestina bersama isterinya
Sarah.  Dari  Palestina mereka meneruskan perjalanan ke Mesir.
Pada waktu itu Mesir di  bawah  kekuasaan  raja-raja  Amalekit
(Hyksos).

Sarah  adalah  seorang wanita cantik. Pada waktu itu raja-raja
Hyksos   biasa   mengambil   wanita-wanita    bersuami    yang
cantik-cantik.  Ibrahim  memperlihatkan,  seolah  Sarah adalah
saudaranya. Ia takut dibunuh  dan  Sarah  akan  diperisterikan
raja.  Dan  raja  memang  bermaksud  akan  memperisterikannya.
Tetapi  dalam  tidurnya  ia  bermimpi  bahwa  Sarah  bersuami.
Kemudian  dikembalikan  kepada  Ibrahim  sambil  dimarahi.  Ia
diberi beberapa  hadiah  di  antaranya  seorang  gadis  belian
bernama  Hajar-  Olelm  karena  Sarah  sesudah  bertahun-tahun
dengan Ibrahim belum juga beroleh keturunan, maka  oleh  Sarah
disuruhnya  ia  bergaul dengan Hajar, yang tidak lama kemudian
telah  beroleh  anak,  yaitu  Ismail.  Sesudah  Ismail   besar
kemudian Sarahpun beroleh keturunan, yaitu Ishaq.

Beberapa ahli berselisih pendapat tentang penyembelihan Ismail
serta kurban yang telah dipersembahkan  oleh  Ibrahim.  Adakah
sebelum kelahiran Ishaq atau sesudahnya? Adakah itu terjadi di
Palestina atau di Hijaz? Ahli-ahli sejarah Yahudi berpendapat,
bahwa  yang  disembelih itu adalah Ishaq, bukan Ismail. Disini
kita bukan akan  menguji  adanya  perselisihan  pendapat  itu.
Dalam   Qishash'l-Anbia'   Syaikh   Abd'l   Wahhab   an-Najjar
berpendapat,  bahwa  yang  disembelih   itu   adalah   Ismail.
Argumentasi  ini  diambilnya  dari  Taurat  sendiri bahwa yang
disembelih itu dilukiskan sebagai anak  Ibrahim  satu-satunya.
Pada  waktu  itu Ismail adalah anak satu-satunya sebelum Ishaq
dilahirkan. Setelah Sarah melahirkan, maka anak Ibrahim  tidak
lagi  tunggal,  melainkan  sudah  ada Ismail dan Ishaq. Dengan
mengambil  cerita  itu  seharusnya  kisah  penyembelihan   dan
penebusan  itu  terjadi  di  Palestina.  Hal  ini  memang bisa
terjadi demikian kalau yang dimaksudkan itu  terjadi  terhadap
diri  Ishaq.  Selama  itu Ishaq dengan ibunya hanya tinggal di
Palestina, tidak pernah pergi ke  Hijaz.  Akan  tetapi  cerita
yang  mengatakan bahwa penyembelihan dan penebusan itu terjadi
diatas bukit  Mina,  maka  ini  tentu  berlaku  terhadap  diri
Ismail.  Oleh  karena  di  dalam  Qur'an tidak disebutkan nama
person  korban  itu,  maka  ahli-ahli  sejarah  kaum  Muslimin
berlain-lainan pendapat.

Tentang  pengorbanan  dan  penebusan  itu kisahnya ialah bahwa
Ibrahim bermimpi,  bahwasanya  Tuhan  memerintahkan  kepadanya
supaya   anaknya  itu  dipersembahkan  sebagai  kurban  dengan
menyembelihnya.  Pada  suatu  pagi  berangkatlah   ia   dengan
anaknya. "Bila ia sudah mencapai usia cukup untuk berusaha, ia
(Ibrahim) berkata: 'O anakku, dalam tidur aku bermimpi,  bahwa
aku  menyembelihmu.  Lihatlah,  bagaimanakah  pendapatmu?'  Ia
menjawab: 'Wahai ayahku.  Lakukanlah  apa  yang  diperintahkan
kepadamu.  Jika  dikehendaki  Tuhan,  akan kaudapati aku dalam
kesabaran.'   Setelah   keduanya    menyerahkan    diri    dan
dibaringkannya  ke  sebelah  keningnya,  ia Kami panggil: 'Hai
Ibrahim. Engkau telah melaksanakan mimpi itu.' Dengan  begitu,
Kami  memberikan  balasan kepada mereka yang berbuat kebaikan.
Ini adalah suatu ujian yang nyata. Dan kami menebusnya  dengan
sebuah kurban besar." (Qur'an, 37: 103-107)

Beberapa  cerita  melukiskan kisah ini dalam bentuk puisi yang
indah sekali, sehingga disini perlu kita kemukakan,  sekalipun
tidak  membawa  kisah tentang Mekah. Kisahnya, setelah Ibrahim
bermimpi dalam tidurnya bahwa ia harus menyembelih anaknya dan
memastikan  bahwa itu adalah perintah Tuhan, ia berkata kepada
anaknya itu: 'Anakku, bawalah tali dan parang itu,  mari  kita
pergi  ke bukit mencari kayu untuk keluarga kita.' Anak itupun
menurut perintah ayahnya. Ketika itu datang setan dalam bentuk
seorang  laki-laki,  mendatangi  ibu  anak itu seraya berkata:
'Tahukah engkau ke mana Ibrahim  membawa  anakmu?'  'Ia  pergi
mencari  kayu  dari  lereng bukit itu,' jawab ibunya. 'Tidak,'
kata setan lagi,  'ia  pergi  akan  menyembelihnya.'  Ibu  itu
menjawab  lagi:  'Tidak.  Ia lebih sayang kepada anaknya.' 'Ia
mendakwakan bahwa Tuhan yang memerintahkan itu.'

'Kalau  itu  memang  perintah  Tuhan   biarkan   dia   menaati
perintahNya,'  jawab  ibu  itu.  Setan  itu  lalu pergi dengan
perasaan kecewa. Ia segera menyusul anak yang sedang mengikuti
ayahnya  itu.  Kepada  anak itupun ia berkata seperti terhadap
ibunya tadi. Tapi jawabannyapun  sama  dengan  jawaban  ibunya
juga.  Kemudian setan mendatangi Ibrahim dan mengatakan, bahwa
mimpinya itu hanya tipu-muslihat setan supaya  ia  menyembelih
anaknya  dan  akhirnya  akan  menyesal. Tetapi oleh Ibrahim ia
ditinggalkan dan dilaknatnya. Dengan rasa  jengkel  Iblis  itu
mundur  teratur,  karena  maksudnya  tidak berhasil, baik dari
Ibrahim, dari isterinya atau dari anaknya.

Kemudian  itu  Ibrahim  menyatakan  kepada   anaknya   tentang
mimpinya itu dan minta pendapatnya. 'Ayah, lakukanlah apa yang
diperintahkan.' Lalu katanya lagi dalam  ballada  itu:  'Ayah,
kalau  ayah  akan  menyembelihku, kuatkanlah ikatan itu supaya
darahku nanti tidak kena ayah dan  akan  mengurangi  pahalaku.
Aku tidak menjamin bahwa aku takkan gelisah bila dilaksanakan.
Tajamkanlah parang itu supaya dapat sekaligus memotongku. Bila
ayah  sudah  merebahkan aku untuk disembelih, telungkupkan aku
dan jangan dimiringkan. Aku kuatir  bila  ayah  kelak  melihat
wajahku ayah akan jadi lemah, sehingga akan menghalangi maksud
ayah melaksanakan perintah Tuhan itu. Kalau  ayah  berpendapat
akan membawa bajuku ini kepada ibu kalau-kalau menjadi hiburan
baginya, lakukanlah, ayah.'

'Anakku,'  kata  Ibrahim,  'ini  adalah  bantuan  besar  dalam
melaksanakan perintah Allah.'

Kemudian ia siap melaksanakan. Diikatnya kuat-kuat tangan anak
itu  lalu  dibaringkan  keningnya  untuk  disembelih.   Tetapi
kemudian ia dipanggil: 'Hai Ibrahim! Engkau telah melaksanakan
mimpi itu.' Anak itu kemudian ditebusnya dengan  seekor  domba
besar   yang   terdapat  tidak  jauh  dari  tempat  itu.  Lalu
disembelihnya dan dibakarnya.

Demikianlah kisah penyembelihan dan penebusan itu. Ini  adalah
kisah penyerahan secara keseluruhan kepada kehendak Allah.

Ishaq  telah menjadi besar disamping Ismail. Kasih-sayang ayah
sama  terhadap  keduanya.  Akan  tetapi  Sarah  menjadi  gusar
melihat  anaknya  itu dipersamakan dengan anak Hajar dayangnya
itu. Ia bersumpah tidak akan tinggal bersama-sama dengan Hajar
dan  anaknya  tatkala  dilihatnya  Ismail memukul adiknya itu.
Ibrahim merasa  bahwa  hidupnya  takkan  bahagia  kalau  kedua
wanita itu tinggal dalam satu tempat. Oleh karena itu pergilah
ia dengan Hajar dan anak itu menuju ke  arah  selatan.  Mereka
sampai  ke  suatu  lembah,  letak Mekah yang sekarang. Seperti
kita sebutkan di atas, lembah ini adalah tempat  para  kafilah
membentangkan  kemahnya  pada  waktu  mereka berpapasan dengan
kafilah dari Syam ke Yaman, atau dari Yaman  ke  Syam.  Tetapi
pada  waktu  itu adalah saat yang paling sepi sepanjang tahun.
Ismail   dan   ibunya   oleh    Ibrahim    ditinggalkan    dan
ditinggalkannya pula segala keperluannya. Hajar membuat sebuah
gubuk  tempat  ia  berteduh  dengan  anaknya.  Dan  Ibrahimpun
kembali ke tempat semula.

Sesudah  kehabisan  air dan perbekalan, Hajar melihat ke kanan
kiri. Ia tidak melihat sesuatu. Ia terus berlari dan turun  ke
lembah  mencari  air.  Dalam berlari-lari itu - menurut cerita
orang - antara Shafa dan Marwa, sampai lengkap tujuh kali,  ia
kembali  kepada  anaknya  dengan  membawa  perasaan putus asa.
Tetapi ketika itu dilihatnya  anaknya  sedang  mengorek-ngorek
tanah  dengan  kaki, yang kemudian dari dalam tanah itu keluar
air. Dia dan Ismail dapat melepaskan dahaga. Disumbatnya  mata
air  itu  supaya  jangan  mengalir terus dan menyerap ke dalam
pasir.

Anak yang bersama ibunya itu membantu  orang-orang  Arab  yang
sedang  dalam  perjalanan, dan merekapun mendapat imbalan yang
akan cukup menjamin hidup mereka  sampai  pada  musim  kafilah
yang akan datang.

Mata  air  yang  memancar  dari  sumur Zamzam itu menarik hati
beberapa kabilah akan tinggal di dekat  tempat  itu.  Beberapa
keterangan   mengatakan,  bahwa  kabilah  Jurhum  adalah  yang
pertama sekali tinggal di tempat itu, sebelum datang Hajar dan
anaknya. Sementara yang lain berpendapat, bahwa mereka tinggal
di tempat itu setelah adanya  sumber  sumur  Zamzam,  sehingga
memungkinkan mereka hidup di lembah gersang itu.

Ismail sudah semakin besar, dan kemudian ia kawin dengan gadis
kabilah  Jurhum.  Ia  dengan  isterinya  tinggal  bersama-sama
keluarga  Jurhum  yang  lain.  Di  tempat itu rumah suci sudah
dibangun, yang kemudian berdiri pula Mekah sekitar tempat itu.

Juga disebutkan bahwa  pada  suatu  hari  Ibrahim  minta  ijin
kepada  Sarah  akan  mengunjungi Ismail dan ibunya. Permintaan
ini disetujui dan ia pergi. Setelah  ia  mencari  dan  menemui
rumah Ismail ia bertanya kepada isterinya: "Mana suamimu?"

"Ia sedang berburu untuk hidup kami," jawabnya.

Kemudian  ditanya  lagi,  dapatkah  ia  menjamu  makanan  atau
minuman, dijawab  bahwa  dia  tidak  mempunyai  apa-apa  untuk
dihidangkan.

Ibrahim  pergi,  setelah  mengatakan:  "Kalau  suamimu  datang
sampaikan  salamku  dan  katakan  kepadanya:   "Ganti   ambang
pintumu."

Setelah  pesan ayahnya itu kemudian disampaikan kepada Ismail,
ia segera  menceraikan  isterinya,  dan  kemudian  kawin  lagi
dengan  wanita Jurhum lainnya, puteri Mudzadz bin 'Amr. Wanita
ini telah menyambut Ibrahim dengan baik setelah beberapa waktu
kemudian  ia  pernah  datang.  "Sekarang  ambang pintu rumahmu
sudah kuat," (kata Ibrahim).

Dari perkawinan ini Ismail mempunyai duabelas orang anak,  dan
mereka  inilah  yang  menjadi cikal-bakal Arab al-Musta'-riba,
yakni orang-orang Arab yang bertemu dari pihak ibu pada Jurhum
dengan Arab al-'Ariba keturunan Ya'rub ibn Qahtan. Sedang ayah
mereka, Ismail anak Ibrahim, dari  pihak  ibunya  erat  sekali
bertalian  dengan  Mesir,  dan  dari  pihak  bapa  dengan Irak
(Mesopotamia)  dan  Palestina,  atau   kemana   saja   Ibrahim
menginjakkan kaki.
Cerita   ini   diambil  dari  sejarah  yang  hampir  merupakan
konsensus dalam garis besarnya tentang kepergian  Ibrahim  dan
Ismail ke Mekah, meskipun terdapat perbedaan dalam detail. Dan
yang memajukan kritik  atas  peristiwa  secara  mendetail  itu
berpendapat, bahwa Hajar dan Ismail telah pergi ke lembah yang
sekarang terletak Mekah itu dan bahwa di tempat  itu  terdapat
mata  air  yang  ditempati oleh kabilah Jurhum. Hajar disambut
dengan senang  hati  oleh  mereka  ketika  ia  datang  bersama
Ibrahim  dan  anaknya  ke  tempat itu. Sesudah Ismail besar ia
kawin dengan wanita Jurhum dan mempunyai beberapa orang  anak.
Dari  percampuran  perkawinan antara Ismail dengan unsur-unsur
Ibrani-Mesir di satu pihak  dan  unsur  Arab  di  pihak  lain,
menyebabkan  keturunannya itu membawa sifat-sifat Arab, Ibrani
dan Mesir. Mengenai sumber yang mengatakan tentang Hajar  yang
kebingungan  setelah  melihat  air  yang  habis menyerap serta
tentang usahanya berlari tujuh kali dari Shafa dan  Marwa  dan
tentang  sumur Zamzam dan bagaimana air menyembur, oleh mereka
masih diragukan.

Sebaliknya William Muir  menyangsikan  kepergian  Ibrahim  dan
Ismail   itu  ke  Hijaz  dan  ia  menolak  dasar  cerita  itu.
Dikatakannya,  bahwa  itu  adalah  Israiliat  (Yudaica)   yang
dibuat-buat orang Yahudi beberapa generasi sebelum Islam, guna
mengikat hubungan dengan  orang  Arab  yang  sama-sama  sebapa
dengan  lbrahim,  kalau  Ishaq  itu  yang menjadi nenek-moyang
orang Yahudi. Jadi apabila saudaranya, Ismail itu moyang orang
Arab,  maka  mereka  adalah  saudara  sepupu yang akan menjadi
kewajiban orang Arab pula menerima  baik  emigran  orang-orang
Yahudi   ke   tengah-tengah   mereka,   dan   akan  memudahkan
perdagangan orang Yahudi di seluruh  jazirah  Arab.  Pengarang
Inggris ini mendasarkan pendapatnya pada cara-cara peribadatan
di negeri-negeri Arab yang tak ada  hubungannya  dengan  agama
Ibrahim,   sebab   mereka   sudah   benar-benar  hanyut  dalam
paganisma, sedang agama Ibrahim agama murni.

Kita tidak melihat bahwa argumentasi demikian itu sudah  cukup
kuat untuk menghilangkan kenyataan sejarah. Jauh beberapa abad
sesudah meninggalnya Ibrahim dan Ismail paganisma  Arab  tidak
menunjukkan bahwa mereka memang sudah demikian tatkala Ibrahim
datang  ke  Hijaz  dan  tatkala  ia  dan  Ismail  bersama-sama
membangun  Ka'bah.  Andaikata  waktu  itu paganisma sudah ada,
tentu  itu  akan  memperkuat  pendapat   Sir   William   Muir.
Masyarakat  Ibrahim sendiri waktu itu menyembah berhala dan ia
berusaha mengajak mereka  ke  jalan  yang  benar,  tapi  tidak
berhasil. Apabila ia mengajak masyarakat Arab seperti mengajak
masyarakatnya sendiri, lalu tidak  berhasil,  dan  orang-orang
Arab  itu  tetap menyembah berhala, tentu hal itu tidak sesuai
dengan kepergian  Ibrahim  dan  Ismail  ke  Mekah.  Keterangan
sejarah  itu  secara  logika  bahkan  lebih kuat. Ibrahim yang
telah keluar dari Irak karena mau menghindar dari keluarganya,
ia  pergi  ke  Palestina  dan  Mesir,  adalah orang yang mudah
bepergian dan biasa mengarungi  sahara.  Sedang  jalan  antara
Palestina   dan   Mekah  sejak  dahulu  kala  sudah  merupakan
lalu-lintas terbuka bagi para kafilah. Dengan  demikian  tidak
pula  pada  tempatnya  orang  meragukan kenyataan sejarah yang
dalam garis besamya sudah menjadi konsensus itu.

Sir William Muir dan mereka  yang  menunjang  pendapatnya  itu
mengatakan  tentang  kemungkinan  adanya  segolongan anak-anak
Ibrahim dan Ismail sesudah itu yang pindah dari  Palestina  ke
negeri-negeri  Arab  serta  adanya pertalian mereka dalam arti
hubungan  darah.  Kita  tidak  mengerti,   kalau   kemungkinan
mengenai  anak-anak  Ibrahim  dan Ismail ini bagi mereka dapat
diterima, sedang kemungkinan mengenai kedua orang itu  sendiri
tidak! Bagaimana akan dikatakan belum dapat dipastikan padahal
peristiwa sejarah sudah memperkuatnya. Bagaimana  pula  takkan
terjadi  padahal  sumbernya sudah tak dapat diragukan lagi dan
sudah  disebutkan  dalam  Quran  dan  dibicarakan  juga  dalam
kitab-kitab suci lainnya!

Ibrahim  dan Ismail lalu mengangkat sendi-sendi Rumah Suci itu
dan "Bahwa rumah pertama dibuat untuk manusia beribadat  ialah
yang  di  Mekah  itu,  sudah  diberi berkah dan bimbingan bagi
semesta alam. Disitulah  terdapat  keterangan-keterangan  yang
jelas  sebagai Maqam (tempat) Ibrahim; barangsiapa memasukinya
menjadi aman." (Qur'an, 3: 96-97)

"Dan ingatlah, Kami jadikan Rumah itu  tempat  berkumpul  bagi
manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah Maqam Ibrahim itu
tempat bersembahyang, dan kami  serahkan  kepada  Ibrahim  dan
Ismail  menyucikan  RumahKu  bagõ mereka yang bertawaf, mereka
yang tinggal menetap dan mereka  yang  ruku'  dan  sujud.  Dan
ingatlah tatkala Ibrahim berkata: 'Tuhanku, jadikan tempat ini
Kota yang aman dan berikanlah buah-buahan kepada  penduduknya,
mereka  yang  beriman  kepada  Allah  dan  Hari  Kemudian.' Ia
berkata: 'Dan bagi barangsiapa yang menolak iman  akan  Kuberi
juga  kesenangan sementara, kemudian Kutarik ia ke dalam siksa
api, tujuan yang paling celaka,. Dan ingatlah tatkala  Ibrahim
dan  Ismail  mengangkat  sendi-sendi  Rumah  Suci  itu (mereka
berdoa): 'Tuhan,  terimalah  ini  dari  kami.  Sesungguhnyalah
Engkau Maha mendengar, Maha mengetahui." (Qur,an, 2: 125-127)

Bagaimana  Ibrahim  mendirikan Rumah itu sebagai tempat tujuan
dan  tempat  yang  aman,  untuk  mengantarkan  manusia  supaya
beriman  hanya kepada Allah Yang Tunggal lalu kemudian menjadi
tempat berhala dan pusat penyembahannya?  Dan  bagaimana  pula
cara-cara   peribadatan  itu  dilakukan  sesudah  lbrahim  dan
Ismail, dan dalam bentuk bagaimana pula dilakukan?  Dan  sejak
kapan  cara-cara  itu berubah lalu dikuasi oleh paganisma? Hal
ini tidak diceritakan  kepada  kita  oleh  sejarah  yang  kita
kenal.  Semua  itu  baru  merupakan  dugaan-dugaan  yang sudah
dianggap sebagai suatu kenyataan. Kaum Sabian1 yang  menyembah
bintang  mempunyai  pengaruh besar di tanah Arab. Pada mulanya
mereka - menurut beberapa keterangan - tidak menyembah bintang
itu  sendiri,  melainkan  hanya  menyembah  Allah  dan  mereka
mengagungkan   bintang-bintang   itu   sebagai   ciptaan   dan
manifestasi  kebesaranNya. Oleh karena lebih banyak yang tidak
dapat  memahami  arti  ketuhanan  yang  lebih   tinggi,   maka
diartikannya bintang-bintang itu sebagai tuhan. Beberapa macam
batu gunung dikhayalkan sebagai benda yang jatuh  dan  langit,
berasal  dan  beberapa  macam  bintang.  Dari  situ  mula-mula
manifestasi  tuhan  itu  diartikan  dan  dikuduskan,  kemudian
batu-batu itu yang disembah, kemudian penyembahan itu dianggap
begitu agung, sehingga tidak cukup  bagi  seorang  orang  Arab
hanya menyembah hajar aswad (batu hitam) yang di dalam Ka'bah,
bahkan dalam setiap perjalanan ia mengambil batu apa saja  dan
Ka'bah   untuk  disembah  dan  dimintai  persetujuannya:  akan
tinggal ataukah akan melakukan  perjalanan.  Mereka  melakukan
cara-cara  peribadatan  yang berlaku bagi bintang-bintang atau
bagi pencipta bintang-bintang itu. Dengan  cara-cara  demikian
menjadi   kuatlah  kepercayaan  paganisma  itu,  patung-patung
dikuduskan dan dibawanya  sesajen-sesajen  untuk  itu  sebagai
kurban.

Ini  adalah  suatu  gambaran tentang perkembangan agama itu di
tanah  Arab  sejak  Ibrahim  membangun  rumah  sebagai  tempat
beribadat  kepada  Tuhan, sebagaimana dilukiskan oleh beberapa
ahli sejarah dan bagaimana pula hal itu kemudian berbalik  dan
menjadi  pusat  berhala.  Herodotus, bapa sejarah, menerangkan
tentang penyembahan Lat itu  di  negeri  Arab.  Demikian  juga
Diodorus  Siculus  mcnyebutkan  tentang  rumah  di  Mekah yang
diagungkan itu. Ini menunjukkan tentang paganisma  yang  sudah
begitu tua di jazirah Arab dan bahwa agama yang dibawa Ibrahim
di sana bertahan tidak begitu lama.

Dalam abad-abad itu sudah datang pula para nabi yang  mengajak
kabilah-kabilah    jazirah    itu   supaya   menyembah   Allah
semata-mata. Tetapi mereka menolak  dan  tetap  bertahan  pada
paganisma.  Datang  Hud  mengajak  kaum  'Ad  yang  tinggal di
sebelah utara Hadzramaut supaya menyembah hanya kepada  Allah;
tapi hanya sebagian kecil saja yang ikut. Sedang yang sebagian
besar malah menyombongkan diri dan berkata: "O Hud, kau datang
tidak  membawa  keterangan  yang  jelas,  dan  kami tidak akan
meninggalkan tuhan-tuhan kami hanya  karena  perkataanmu  itu.
Kami  tidak percaya kepadamu." (Qur'an, 11: 53) Bertahun-tahun
lamanya Hud mengajak mereka. Hasilnya malah  mereka  bertambah
buas  dan  congkak.  Demikian  juga Saleh datang mengajak kaum
Thamud  supaya  beriman.  Mereka  ini  tinggal  di  Hijr  yang
terletak antara Hijaz dengan Syam di Wadi'l-Qura ke arah timur
daya dari Mad-yan (Midian)  dekat  Teluk  'Aqaba.  Sama  saja,
hasil  ajakan  Saleh  itu tidak lebih seperti ajakan Hud juga.
Kemudian datang Syu'aib kepada bangsa Mad-yan yang terletak di
Hijaz,  mengajak  supaya  mereka  menyembah  Allah. Juga tidak
didengar Merekapun mengalami kehancuran seperti  yang  terjadi
terhadap golongan 'Ad dan Thamud.

Selain  para  nabi  itu juga Qur'an telah menceritakan tentang
ajakan mereka supaya menyembah Allah yang Esa. Sikap  golongan
itu  begitu  sombong. Mereka tetap bersikeras hendak menyembah
berhala dan bermohon kepada berhala-berhala dalam Ka'bah  itu.
Mereka  berziarah  ke  tempat  itu setiap tahun; mereka datang
dari segenap pelosok jazirah Arab. Dalam hal ini turun  firman
Tuhan:  "Dan  Kami  tidak akan mengadakan siksaan sebelum Kami
mengutus seorang rasul."(Qur'an 17: 15)

Sejak   didirikannya   Mekah   di   tempat   itu   sudah   ada
jabatan-jabatan penting seperti yang dipegang oleh Qushayy bin
Kilab pada pertengahan abad kelima Masehi. Pada waktu itu para
pemuka   Mekah   berkumpul.  Jabatan-jabatan  hijaba,  siqaya,
rifada, nadwa, liwa' dan qiyada dipegang  semua  oleh  Qushay.
Hijaba ialah penjaga pintu Ka'bah atau yang memegang kuncinya.
Siqaya ialah menyediakan air tawar - yang sangat  sulit  waktu
itu  bagi  mereka  yang  datang  berziarah  serta  menyediakan
minuman keras yang dibuat dari  kurma.  Rifada  ialah  memberi
makan  kepada  mereka  semua.  Nadwa ialah pimpinan rapat pada
tiap tahun musim. Liwa' ialah  panji  yang  dipancangkan  pada
tombak  lalu  ditancapkan  sebagai lambang tentara yang sedang
menghadapi musuh,  dan  qiyada  ialah  pimpinan  pasukan  bila
menuju  perang.  Jabatan-jabatan  demikian itu di Mekah sangat
terpandang. Dalam masalah ibadat seolah pandangan  orang-orang
Arab semua tertuju ke Ka'bah itu.

Saya kira semua itu datangnya bukan sekaligus ketika rumah itu
dibangun, melainkan satu demi satu, pada satu  pihak  tak  ada
hubungannya  satu  sama  lain dengan Ka'bah serta kedudukannya
dalam arti agama, di pihak lain sedikit banyak memang ada juga
hubungannya.

Tatkala Ka'bah dibangun menurut gambaran yang ada dalam khayal
kita - tidak lebih Mekah hanya  terdiri  dari  kabilah-kabilah
Amalekit  dan  Jurhum.  Sesudah  Ismail  menetap  di  sana dan
bersama-sama dengan ayahnya memasang  sendi-sendi  rumah  itu,
barulah  Mekah  mengalami  perkembangan.  Untuk beberapa waktu
yang cukup lama kemudian ia  menjadi  sebuah  kota  atau  yang
menyerupai  kota.  Kita  katakan menyerupai kota, karena Mekah
dengan penduduknya waktu itu  masih  membawa  sifat  sisa-sisa
keterbelakangan  dalam  arti  yang  sangat bersahaja. Beberapa
penulis sejarah tidak keberatan dalam menyebutkan, bahwa Mekah
itu  masih  terbelakang  sebelum semua urusan berada di tangan
Qushayy pada pertengahan abad kelima Masehi  itu.  Sukar  bagi
kita akan dapat membayangkan suatu daerah seperti Mekah dengan
Rumah Purbanya yang dianggap suci itu akan tetap berada  dalam
suasana  hidup pengembaraan. Padahal sejarah membuktikan bahwa
persoalan  Rumah  Suci  itu  berada  di  tangan  Ismail  dalam
lingkungan  keluarga Jurhum selama beberapa generasi kemudian.
Mereka tinggal di sekitar tempat itu, di  samping  Mekah  masa
itu  memang  tempat pertemuan kafilah-kafilah dalam perjalanan
ke Yaman, Hira, Syam dan Najd. Juga  hubungannya  dengan  Laut
Merah  yang  tidak  jauh  dari  tempat  itu merupakan hubungan
langsung  dengan   perdagangan   dunia.   Sukar   akan   dapat
dibayangkan  adanya  suatu  daerah  dalam keadaan demikian itu
akan tetap tanpa ada pendekatan  dari  dunia  lain  dari  segi
peradabannya.  Beralasan sekali dugaan kita, bahwa Mekah, yang
sudah didoakan oleh Ibrahim dan ditetapkan Allah akan  menjadi
suatu  daerah  yang  aman sentosa, sudah mengenal hidup stabil
selama beberapa generasi sebelum Qushayy.

Meskipun sudah dikalahkan oleh Amalekit, Mekah masih di tangan
Jurhum  sampai  pada  masa Mudzadz bin 'Amr ibn Harith. Selama
dalam  masa   generasi   ini   perdagangan   Mekah   mengalami
perkembangan  yang pesat sekali di bawah kekuasaan orang-orang
yang biasa hidup mewah,  sehingga  mereka  lupa  bahwa  mereka
berada  di tanah tandus dan bahwa mereka perlu selalu berusaha
dan selalu waspada.  Demikian  lalainya  mereka  itu  sehingga
Zamzam  menjadi  kering dan pihak kabilah Khuza'a merasa perlu
memikirkan akan turut terjun memegang pimpinan di  tanah  suci
itu.

Peringatan  Mudzadz  kepada masyarakatnya tentang akibat hidup
berfoya-foya, tidak berhasil. Ia yakin sekali  bahwa  hal  ini
akan menghanyutkan mereka semua. Kemudian ia berusaha menggali
Zamzam lebih dalam lagi. Diambilnya dua  buah  pangkal  pelana
emas dari dalam Ka'bah beserta harta yang dibawa orang sebagai
sesajen ke dalam Rumah Suci itu. Dimasukkannya  semua  itu  ke
dalam  dasar  sumur,  sedang  pasir yang masih ada di dalamnya
dikeluarkan,  dengan  harapan  pada  suatu   waktu   ia   akan
menemukannya  kembali.  Ia keluar dengan anak-anak Ismail dari
Mekah. Kekuasaan sesudah itu dipegang oleh  Khuza'a.  Demikian
seterusnya  turun-temurun  sampai  kepada  Qushayy  bin Kilab,
nenek (kakek) Nabi Muhammad yang kelima.

Fatimah bint Sa'd bin Sahl kawin dengan  Kilab  dan  mempunyai
anak  bernama  Zuhra dan Qushayy. Kilab meninggal dunia ketika
Qushayy masih bayi. Kemudian Fatimah kawin lagi dengan  Rabi'a
bin  Haram.  Kemudian mereka pergi ke Syam dan di sana Fatimah
melahirkan Darraj. Qushayy semakin besar  juga  dan  ia  hanya
mengenal  Rabi'a  sebagai  ayahnya. Lambat-laun antara Qushayy
dengan pihak kabilah Rabi'a terjadi permusuhan. Ia dihina  dan
dikatakan  berada  di bawah perlindungan mereka, padahal bukan
dari pihak mereka Qushayy  mengadukan  penghinaan  itu  kepada
ibunya.

"Ayahmu  lebih mulia dari mereka," kata ibunya kepada Qushayy.
"Engkau  anak  Kilab  bin  Murra,  dan  keluargamu  di   Mekah
menempati Rumah Suci."

Qushayy  lalu  pergi  ke  Mekah,  dan  menetap di sana. Karena
pandangannya yang baik dan mempunyai kesungguhan,  orang-orang
di  Mekah  sangat  menghormatinya.  Pada  waktu itu pengawasan
Rumah  Suci  di  tangan  Hulail  bin  Hubsyia  -  orang   yang
berpandangan  tajam  dari  kabilah  Khuza'a.  Tatkala  Qushayy
melamar puterinya, Hubba, ternyata  lamarannya  diterima  baik
dan  kawinlah  mereka.  Qushayy  terus  maju  dalam  usaha dan
perdagangannya,  yang  membuat  ia  jadi   kaya,   harta   dan
anak-anaknya  pun  banyak  pula.  Di kalangan masyarakatnya ia
makin terpandang. Hulail meninggal dengan meninggalkan  wasiat
supaya  kunci  Rumah  Suci  di  tangan Hubba puterinya. Tetapi
Hubba menolak dan kunci itu dipegang oleh  Abu  Ghibsyan  dari
kabilah  Khuza'a.  Tetapi  Abu  Ghibsyan  ini seorang pemabuk.
Ketika pada suatu hari ia kehabisan minuman  keras  kunci  itu
dijualnya kepada Qushayy dengan cara menukarnya dengan minuman
keras.

Khuza'a sudah memperhitungkan betapa kedudukannya  nanti  bila
pimpinan  Ka'bah  itu  berada  di tangan Qushayy sebagai orang
yang banyak hartanya  dan  orang  yang  mulai  berpengaruh  di
kalangan  Quraisy.  Mereka  merasa  keberatan bilamana masalah
pimpinan Rumah Suci berada di tangan pihak lain selain  mereka
sendiri.  Pada waktu Qushayy meminta bantuan Quraisy, beberapa
kabilah memang sudah berpendapat bahwa  dialah  penduduk  yang
paling  kuat  dan  sangat  dihargai di Mekah. Mereka mendukung
Qushayy dan berhasil mengeluarkan Khuza'a dari Mekah. Sekarang
seluruh  pimpinan  Rumah  Suci itu sudah di tangan Qushayy dan
dia diakui sebagai pemimpin mereka.

Seperti sudah  kita  kemukakan,  beberapa  orang  berpendapat,
bahwa  sampai  pada  waktu  pimpinan  Mekah  berada  di tangan
Qushayy, bangunan apapun belum ada di tempat  itu,  selain  Ka
bah.  Alasannya  ialah,  karena baik Khuza'a atau Jurhum tidak
ingin melihat ada bangunan lain di sekitar  Rumah  Tuhan  itu,
juga  karena  pada  malam  hari mereka tidak pernah tinggal di
tempat  itu,  melainkan  pergi   ke   tempat-tempat   terbuka.
Ditambahkan pula bahwa setelah Qushayy memegang pimpinan Mekah
ia mengumpulkan  Quraisy  dan  menyuruh  mereka  membangun  di
tempat itu. Dengan dipelopori oleh Qushayy sendiri dibangunnya
Dar'n-Nadwa sebagai tempat pertemuan  pembesar-pembesar  Mekah
yang  dipimpin  oleh  Qushayy  sendiri.  Di  tempat ini mereka
bermusyawarah mengenai  masalah-masalah  negeri  itu.  Menurut
kebiasaan  mereka,  setiap persoalan yang mereka hadapi selalu
diselesaikan dengan  persetujuan  bersama.  Baik  wanita  atau
laki-laki  yang  akan melangsungkan perkawinan harus di tempat
ini pula.

Dengan perintah Qushayy  orang-orang  Quraisy  lalu  membangun
tempat-tempat  tinggal  mereka  di  sekitar Ka'bah itu, dengan
meluangkan tempat  yang  cukup  luas  untuk  mengadakan  tawaf
sekitar  Rumah  itu dan pada setiap dua rumah disediakan jalan
yang menembus ke tempat tawaf tersebut.

Anak Qushayy yang tertua  ialah  Abd'd-Dar.  Akan  tetapi  Abd
Manaf adiknya, sudah lebih dulu tampil ke depan umum dan sudah
mendapat tempat pula.

Sesudah usianya makin lanjut, kekuatannyapun  sudah  berkurang
dan  sudah  tidak  kuat  lagi  ia  mengurus  Mekah sebagaimana
mestinya, kunci Rumah itupun diserahkannya  kepada  Abd'd-Dar,
demikian  juga  soal  air minum, panji dan persediaan makanan.
Setiap tahun Quraisy memberikan sumbangan  dari  harta  mereka
yang diserahkannya kepada Qushayy guna membuatkan makanan pada
musim ziarah. Makanan ini  kemudian  diberikan  kepada  mereka
yang  datang  tidak dalam kecukupan. Qushayy adalah orang yang
pertama  mewajibkan  kepada  Quraisy   menyiapkan   persediaan
makanan. Dikumpulkannya mereka itu dan ia sangat merasa bangga
terhadap   mereka   ketika   bersama-sama   mereka    berhasil
mengeluarkan  Khuza'a  dari  Mekah.  Ketika  mewajibkan itu ia
berkata kepada mereka:

"Saudara-saudara Quraisy! Kamu sekalian adalah tetangga Tuhan,
keluarga  RumahNya  dan  Tempat  yang Suci. Mereka yang datang
berziarah adalah tamu Tuhan dan  pengunjung  RumahNya.  Mereka
itulah  para  tamu  yang  paling  patut  dihormati. Pada musim
ziarah itu  sediakanlah  makanan  dan  minuman  sampai  mereka
pulang kembali."
Seperti ayahnya, Abd'd-Dar juga telah memegang pimpinan Ka'bah
dan  kemudian  diteruskan  oleh  anak-anaknya.   Akan   tetapi
anak-anak  Abd Manaf sebenarnya mempunyai kedudukan yang lebih
baik dan  terpandang  juga  di  kalangan  masyarakatnya.  Oleh
karena  itu,  anak-anak  Abd  Manaf,  yaitu Hasyim, Abd Syams,
Muttalib dan Naufal sepakat akan mengambil pimpinan  yang  ada
di  tangan  sepupu-sepupu  mereka  itu.  Tetapi  pihak Quraisy
berselisih pendapat: yang satu membela satu golongan yang lain
membela golongan yang lain lagi.

Keluarga  Abd  Manaf  mengadakan  Perjanjian Mutayyabun dengan
memasukkan  tangan  mereka  ke   dalam   tib,   (yaitu   bahan
wangi-wangian)  yang  dibawa ke dalam Ka'bah. Mereka bersumpah
takkan melanggar janji. Demikian juga pihak Keluarga Abd,d-Dar
mengadakan  pula  Perjanjian  Ahlaf: Antara kedua golongan itu
hampir saja pecah perang yang akan memusnakan  Quraisy,  kalau
tidak  cepat-cepat  diadakan  perdamaian.  Keluarga  Abd Manaf
diberi bagian mengurus persoalan air  dan  makanan,  sedangkan
kunci,  panji dan pimpinan rapat di tangan Keluarga Abd'd-Dar.
Kedua belah pihak  setuju,  dan  keadaan  itu  berjalan  tetap
demikian, sampai pada waktu datangnya Islam.

Hasyim termasuk pemuka masyarakat dan orang yang berkecukupan.
Dialah yang memegang urusan  air  dan  makanan.  Dia  mengajak
masyarakatnya  seperti  yang  dilakukan oleh Qushayy kakeknya,
yaitu supaya masing-masing menafkahkan hartanya untuk  memberi
makanan   kepada  pengunjung  pada  musim  ziarah.  Pengunjung
Baitullah, tamu  Tuhan  inilah  yang  paling  berhak  mendapat
penghormatan.  Kenyataannya  memang para tamu itu diberi makan
sampai mereka pulang kembali.

Peranan yang dipegang Hasyim  tidak  hanya  itu  saja,  bahkan
jasanya  sampai ke seluruh Mekah. Pernah terjadi musim tandus,
dia datang membawakan  persediaan  makanan,  sehingga  kembali
penduduk  itu menghadapi hidupnya dengan wajah berseri. Hasyim
jugalah yang membuat ketentuan perjalanan musim, musim  dingin
dan  musim  panas.  Perjalanan  musim  dingin  ke  Yaman,  dan
perjalanan musim panas ke Suria.

Dengan  adanya  semua  kenyataan  ini   keadaan   Mekah   jadi
berkembang dan mempunyai kedudukan penting di seluruh jazirah,
sehingga ia dianggap sebagai ibukota yang sudah diakui. Dengan
perkembangan  serupa  itu  tidak  ragu-ragu lagi anak-anak Abd
Manaf      membuat      perjanjian      perdamaian      dengan
tetangga-tetangganya.   Hasyim   sendiri   membuat  perjanjian
sebagai tetangga baik dan bersahabat  dengan  Imperium  Rumawi
dan   dengan   penguasa   Ghassan.  Pihak  Rumawi  mengijinkan
orang-orang Quraisy memasuki Suria dengan aman. Demikian  juga
Abd  Syams  membuat  pula  perjanjian  dagang  dengan  Najasyi
(Negus).  Selanjutnya  Naufal  dan   Muttalib   juga   membuat
persetujuan  dengan  Persia dan perjanjian dagang dengan pihak
Himyar di Yaman.

Mekah sekarang bertambah kuat dan bertambah  makmur.  Demikian
pandainya penduduk kota itu dalam perdagangan sehingga tak ada
pihak lain yang  semasa  yang  dapat  menyainginya.  Rombongan
kafilah   datang  ke  tempat  itu  dari  segenap  penjuru  dan
berangkat lagi pada musim dingin dan musim panas.  Di  sekitar
tempat  itu didirikan pasar-pasar guna menjalankan perdagangan
itu. Itu  pula  sebabnya  mereka  jadi  cekatan  sekali  dalam
utang-piutang  dan  riba serta segala sesuatu yang berhubungan
dengan perdagangan.  Tak  ada  yang  teringat  akan  menyaingi
Hasyim   yang  kini  sudah  makin  lanjut  usianya  itu  dalam
kedudukannya sebagai penguasa Mekah. Hanya kemudian  terbayang
oleh  Umayya  anak  Abd  Syams  -sepupunya  - bahwa sudah tiba
masanya kini ia akan bersaing. Tetapi dia tidak  berdaya,  dan
kedudukan  itu  tetap  dipegang  Hasyim.  Sementara itu Umayya
telah meninggalkan Mekah dan selama sepuluh tahun  tinggal  di
Suria.

Pada  suatu  ketika dalam perjalanan pulang dari Suria, ketika
Hasyim melalui Jathrib dilihatnya seorang wanita baik-baik dan
terpandang,   muncul   di   tengah-tengah  orang  yang  sedang
mengadakan perdagangan dengan dia. Wanita itu ialah Salma anak
'Amr   dari   kabilah   Khazraj.   Hasyim   merasa   tertarik.
Ditanyakannya, adakah ia sedang dalam ikatan dengan  laki-laki
lain?  Setelah diketahui bahwa dia seorang janda dan tidak mau
kawin lagi kecuali bila ia memegang kebebasan sendiri,  Hasyim
lalu  melamarnya.  Dan  wanita  itupun  menerima,  karena  dia
mengetahui kedudukan Hasyim di tengah-tengah masyarakatnya.

Beberapa waktu lamanya ia tinggal di  Mekah  dengan  suaminya.
Kemudian  ia  kembali  ke  Jathrib.  Di kota ini ia melahirkan
seorang anak yang diberi nama Syaiba.

Beberapa tahun kemudian dalam suatu perjalanan musim panas  ke
Ghazza (Gaza). Hasyim meninggal dunia. Kedudukannya digantikan
oleh adiknya, Muttalib. Sebenarnya Muttalib ini masih adik Abd
Syams.  Tetapi dia sangat dihormati oleh masyarakatnya. Karena
sikapnya yang suka menenggang dan murah hati oleh  Quraisy  ia
dijuluki Al-Faidz', ("Yang melimpah"). Dengan keadaan Muttalib
yang demikian itu di tengah-tengah masyarakatnya, sudah  tentu
segalanya akan berjalan tenteram sebagaimana mestinya.

Pada suatu hari terpikir oleh Muttalib akan kemenakannya, anak
Hasyim itu. Ia pergi ke Jathrib. Dan  karena  anak  itu  sudah
besar,  dimintanya  kepada Salma supaya anaknya itu diserahkan
kepadanya. Oleh Muttalib dibawanya pemuda itu ke atas  untanya
dan  dengan  begitu  ia  memasuki  Mekah.  Orang-orang Quraisy
menduga bahwa yang dibawa itu budaknya. Oleh karena itu mereka
lalu  memanggilnya:  Abd'l  Muttalib  (Budak Muttalib). "Hai,"
kata Muttalib. "Dia kemenakanku anak Hasyim yang  kubawa  dari
Jathrib."   Tetapi  sebutan  itu  sudah  melekat  pada  pemuda
tersebut. Orang sudah memanggilnya demikian  dan  nama  Syaiba
yang diberikan ketika dilahirkan sudah dilupakan orang.

Pada  mulanya Muttalib ingin sekali mengembalikan harta Hasyim
untuk kemenakannya. Tetapi Naufal menolak, lalu  menguasainya.
Sesudah  Abd'l-Muttalib  mempunyai kekuatan ia meminta bantuan
kepada saudara-saudara ibunya  di  Jathrib  terhadap  tindakan
saudara ayahnya itu dengan maksud supaya miliknya dikembalikan
kepadanya. Untuk  memberikan  bantuan  itu  pihak  Khazraj  di
Jathrib mengirimkan delapan puluh orang pasukan perang. Dengan
demikian Naufal terpaksa mengembalikan harta itu.

Sekarang  Abd'l-Muttalib  sudah  menempati  kedudukan  Hasyim.
Sesudah  pamannya Muttalib, dialah yang mengurus pembagian air
dan  persediaan  makanan.  Dalam  mengurus  dua  jabatan   ini
terutama urusan air - ia menemui kesulitan yang tidak sedikit.
Sampai saat itu anaknya hanyalah seorang, yaitu Harith. Sedang
persediaan  air  untuk  tamu  - sejak terserapnya sumur Zamzam
didatangkan dari beberapa sumur yang terpencar-pencar  sekitar
Mekah,  yang  kemudian  diletakkan  di  sebuah  kolam di dekat
Ka'bah. Anak yang banyak itu akan merupakan bantuan besar  dan
memudahkan pekerjaan serupa ini serta pengawasannya sekaligus.
Sebaliknya,  kalau  Abd'l-Muttalib   harus   memikul   jabatan
penyediaan   air   dan   makanan   sedang  anak  hanya  Harith
satu-satunya, tentu hal ini  akan  terasa  berat  sekali.  Ini
jugalah yang lama menjadi pikiran.

Orang-orang  Arab  masih selalu ingat kepada sumur Zamzam yang
telah dicetuskan oleh Mudzadz bin Amr beberapa abad yang lalu.
Menjadi  harapan mereka selalu andaikata sumur itu masih tetap
ada. Dan sesuai dengan kedudukannya Abd'l-Muttalib  pun  tentu
lebih   banyak  lagi  memikirkan  dam  mengharapkan  hal  itu.
Demikian kerasnya keinginan itu hingga terbawa dalam  tidurnya
seolah  ada suara gaib menyuruhnya menggali kembali sumur yang
pernah menyembur di kaki Ismail neneknya  dulu  itu.  Demikian
mendesaknya  suara  itu  dengan menunjukkan sekali letak sumur
itu. Dan diapun memang gigih sekali ingin mencari letak Zamzam
tersebut,  sampai achirnya diketemukannya juga, yaitu terletak
antara dua patung: Isaf dan Na'ila.

Ia terus mengadakan penggalian, dibantu oleh anaknya,  Harith.
Waktu  itu tiba-tiba air membersit dan dua pangkal pelana emas
dan pedang Mudzadz mulai  tampak.  Sementara  itu  orang-orang
lalu  mau  mencampuri  Abd'l-Muttalib  dalam  urusan sumur itu
serta   apa   yang   terdapat   di   dalamnya.   Akan   tetapi
Abd'l-Muttalib berkata:

"Tidak!  Tetapi  marilah kita mengadakan pembagian, antara aku
dengan kamu sekalian.  Kita  mengadu  nasib  dengan  permainan
qid-h  (anak  panah). Dua anak panah buat Ka'bah, dua buat aku
dan dua buat kamu. Kalau anak panah itu  keluar,  ia  mendapat
bagian, kalau tidak, dia tidak mendapat apa-apa."

Usul  ini disetujui. Lalu anak-anak panah itu diberikan kepada
juru qid-h  yang  biasa  melakukan  itu  di  tempat  Hubal  di
tengah-tengah   Ka'bah.  Anak  panah  Quraisy  ternyata  tidak
keluar. Sekarang pedang-pedang itu buat Abd'l-Muttalib dan dua
buah  pangkal  pelana emas buat Ka'bah. Pedang-pedang itu oleh
Abd'l-Muttalib dipasang di pintu Ka'bah, sedang  kedua  pelana
emas  dijadikan perhiasan dalam Rumah Suci itu. Abd'l Muttalib
meneruskan tugasnya mengurus air untuk keperluan tamu, sesudah
sumur Zamzam dapat berjalan lancar.

Karena  tidak  banyak  anak,  Abd'l-Muttalib  di tengah-tengah
masyarakatnya sendiri itu merasa kekurangan tenaga  yang  akan
dapat  membantunya.  Ia bernadar; kalau sampai beroleh sepuluh
anak laki-laki kemudian sesudah besar-besar tidak beroleh anak
lagi  seperti  ketika  ia  menggali  sumur  Zamzam dulu, salah
seorang di antaranya akan disembelih di Ka'bah sebagai  kurban
untuk  Tuhan.  Tepat  juga  anaknya  yang  laki-laki  akhirnya
mencapai sepuluh orang dan takdirpun menentukan  pula  sesudah
itu tidak beroleh anak lagi.

Dipanggilnya  semua  anak-anaknya  dengan  maksud supaya dapat
memenuhi   nadarnya.   Semua   patuh.   Sebagai    konsekwensi
kepatuhannya  itu setiap anak menuliskan namanya masing-masing
di atas qid-h (anak panah). Kemudian semua itu diambilnya oleh
Abd'l-Muttalib  dan  dibawanya  kepada  juru  qid-h  di tempat
berhala Hubal di tengah-tengah Ka'bah.

Apabila  sedang   menghadapi   kebingungan   yang   luarbiasa,
orang-orang  Arab  masa  itu lalu minta pertolongan juru qid-h
supaya memintakan kepada Maha Dewa  Patung  itu  dengan  jalan
(mengadu  nasib)  melalui  qid-h.  Abdullah bin Abd'l-Muttalib
adalah anaknya yang bungsu dan yang sangat dicintai.

Setelah juru qid-h mengocok anak panah  yang  sudah  dicantumi
nama-nama semua anak-anak yang akan menjadi pilihan dewa Hubal
untuk kemudian disembelih oleh sang  ayah,  maka  yang  keluar
adalah   nama   Abdullah.   Dituntunnya  anak  muda  itu  oleh
Abd'l-Muttalib dan dibawanya untuk  disembelih  ditempat  yang
biasa  orang-orang  Arab  melakukan  itu  di dekat Zamzam yang
terletak antara berhala Isaf dengan Na'ila.

Tetapi saat itu  juga  orang-orang  Quraisy  serentak  sepakat
melarangnya  supaya  jangan  berbuat,  dan atas pembatalan itu
supaya memohon ampun kepada  Hubal.  Sekalipun  mereka  begitu
mendesak,   namun   Abd'l-Muttalib   masih   ragu-ragu   juga.
Ditanyakannya kepada mereka apa yang  harus  diperbuat  supaya
sang  berhala  itu  berkenan.  Mughira  bin Abdullah dari suku
Makhzum berkata: "Kalau penebusannya  dapat  dilakukan  dengan
harta kita, kita tebuslah."

Setelah  antara  mereka  diadakan  perundingan, mereka sepakat
akan pergi menemui seorang dukun di Jathrib yang  sudah  biasa
memberikan  pendapat  dalam  hal  semacam ini. Dalam pertemuan
mereka dengan dukun wanita itu kepada mereka dimintanya supaya
menangguhkan sampai besok.

"Berapa tebusan yang ada pada kalian?" tanya sang dukun.

"Sepuluh ekor unta."

"Kembalilah   ke   negeri  kamu  sekalian,"  kata  dukun  itu.
"Sediakanlah tebusan sepuluh ekor unta. Kemudian keduanya  itu
diundi dengan anak panah. Kalau yang keluar itu atas nama anak
kamu, ditambahlah jumlah unta itu sampai dewa berkenan."

Merekapun menyetujui.

Setelah yang demikian ini dilakukan ternyata  anak  panah  itu
keluar  atas  nama  Abdullah juga. Ditambahnya jumlah unta itu
sampai mencapai jumlah seratus ekor. Ketika itulah anak  panah
keluar  atas  nama unta itu. Sementara itu orang-orang Quraisy
berkata kepada Abd'l-Muttalib  -  yang  sedang  berdoa  kepada
tuhannya: "Tuhan sudah berkenan."

"Tidak,"  kata  Abd'l-Muttalib.  "Harus  kulakukan sampai tiga
kali." Tetapi sampai tiga kali dikocok anak panah itupun tetap
keluar  atas nama unta itu juga. Barulah Abd'l-Muttalib merasa
puas setelah ternyata sang dewa berkenan.  Disembelihnya  unta
itu   dan  dibiarkannya  begitu  tanpa  dijamah  manusia  atau
binatang.

Dengan   begitu   itulah   buku-buku   biografi    melukiskan.
Digambarkannya   beberapa   macam  adat-istiadat  orang  Arab,
kepercayaan   serta   cara-cara   mereka   melakukan   upacara
kepercayaan itu. Hal ini menunjukkan sekaligus betapa mulianya
kedudukan Mekah dengan  Rumah  Sucinya  itu  di  tengah-tengah
tanah  Arab.  At-Tabari menceritakan - sehubungan dengan kisah
penebusan ini - bahwa pernah ada seorang wanita Islam bernadar
bahwa  bila  maksudnya  terlaksana dalam melakukan sesuatu, ia
akan  menyembelih   anaknya.   Ternyata   kemudian   maksudnya
terkabul.  Ia  pergi kepada Abdullah bin Umar. Orang ini tidak
memberikan pendapat. Kemudian ia  pergi  kepada  Abdullah  bin
Abbas  yang  ternyata  memberikan  fatwa supaya ia menyembelih
seratus ekor unta, seperti halnya  dengan  penebusan  Abdullah
anak  Abd'l-Muttalib.  Tetapi Marwan - penguasa Medinah ketika
itu - merasa heran sekali setelah mengetahui hal  itu.  "Nadar
tidak berlaku dalam suatu perbuatan dosa," katanya.

Kedudukan  Mekah  dengan  status Rumah Sucinya itu menyebabkan
beberapa daerah lain yang jauh-jauh juga  membuat  rumah-rumah
ibadat  sendiri-sendiri,  dengan  maksud mengalihkan perhatian
orang dari Mekah dan Rumah  Sucinya.  Di  Hira  pihak  Ghassan
mendirikan  rumah  suci, Abraha al-Asyram membangun rumah suci
di Yaman. Tetapi bagi orang Arab itu  tak  dapat  menggantikan
Rumah  Suci  yang  di Mekah, juga tak dapat memalingkan mereka
dari  Kota  Suci  itu.  Bahkan  sampai  demikian  rupa  Abraha
menghiasi   rumah   sucinya  yang  di  Yaman,  dengan  membawa
perlengkapan yang paling mewah  yang  kira-kira  akan  menarik
orang-orang  Arab  -  bahkan  orang-orang  Mekah  sendiri - ke
tempat itu.

Akan tetapi setelah ternyata bahwa tujuan orang-orang Arab itu
hanya  Rumah  Purba itu juga, dan orang-orang Yaman sendiripun
meninggalkan  rumah  yang  dibangunnya  itu  serta  menganggap
ziarah  mereka  tidak  sah kalau tidak ke Mekah, maka sekarang
tak ada jalan lain bagi penguasa Negus itu  kecuali  ia  harus
menghancurkan  rumah  Ibrahim  dan  Ismail itu. Dengan pasukan
yang besar didatangkan dari Abisinia dia  sudah  mempersiapkan
perang  dan  dia  sendiri di depan sekali di atas seekor gajah
besar.

Tatkala  pihak  Arab   mendengar   hal   itu,   besar   sekali
kekuatirannya  akan akibat yang mungkin ditimbulkan karenanya.
Suatu hal  yang  luarbiasa  bagi  mereka,  kedatangan  seorang
laki-laki  Abisinia  akan  menghancurkan rumah suci mereka dan
tempat  berhala-berhala  mereka.  Seorang  laki-laki   bernama
Dhu-Nafar  - salah seorang bangsawan dan terpandang di Yaman -
tampil ke  depan  mengerahkan  masyarakatnya  dan  orang  Arab
lainnya  yang bersedia berjuang melawan Abraha serta maksudnya
yang hendak menghancurkan  Baitullah.  Tetapi  dia  tak  dapat
menghalangi  Abraha.  Malah  dia  sendiri terpukul dan menjadi
tawanan. Nasib yang demikian itu juga yang menimpa Nufail  bin
Habib  al-Khath'ami  ketika  ia mengerahkan masyarakatnya dari
kabilah Syahran dan Nahis, malah dia  sendiri  yang  tertawan,
yang  kemudian menjadi anggota pasukannya dan menjadi penunjuk
jalan. Ketika Abraha  sampai  di  Ta'if  penduduk  tempat  itu
mengatakan,  bahwa  rumah suci mereka bukanlah rumah suci yang
dimaksudkan Abraha. Itu adalah rumah Lat. Kemudian ia  diantar
oleh orang-orang yang bersedia menunjukkan jalan ke Mekah.

Bila  Abraha  sudah mendekati Mekah dikirimnya pasukan berkuda
sebagai kurir. Dari Tihama mereka dapat  membawa  harta  benda
Quraisy  dan  yang  lain-lain,  di antaranya seratus ekor unta
kepunyaan Abd'l-Muttalib bin Hasyim. Pada mulanya  orang-orang
Quraisy   bermaksud   mengadakan   perlawanan.  Tapi  kemudian
berpendapat, bahwa mereka takkan mampu. Sementara  itu  Abraha
sudah  mengirimkan  salah  seorang  pengikutnya sebagai utusan
bernama Hunata dan Himyar untuk  menemui  pemimpin  Mekah.  Ia
diantar  menghadap Abd'l-Muttalib bin Hasyim, dan kepadanya ia
menyampaikan pesan  Abraha,  bahwa  kedatangannya  bukan  akan
berperang  melainkan akan menghancurkan Baitullah. Kalau Mekah
tidak mengadakan perlawanan tidak perlu ada pertumpahan darah.

Begitu Abd'l-Muttalib mendengar, bahwa mereka tidak  bermaksud
berperang,  ia  pergi ke markas pasukan Abraha bersama Hunata,
bersama  anak-anaknya  dan  beberapa  pemuka  Mekah   lainnya.
Kedatangan  delegasi  Abd'l-Muttalib  ini  disambut  baik oleh
Abraha,   dengan   menjanjikan   akan    mengembalikan    unta
Abd'l-Muttalib. Akan tetapi segala pembicaraan mengenai Ka'bah
serta   supaya   menarik   kembali   maksudnya   yang   hendak
menghancurkan  tempat suci itu ditolaknya belaka. Juga tawaran
delegasi Mekah  yang  akan  mengalah  sampai  sepertiga  harta
Tihama  baginya, ditolak. Abd'l-Muttalib dan rombongan kembali
ke Mekah. Dinasehatkannya supaya orang meninggalkan tempat itu
dan  pergi  ke  lereng-lereng  bukit,  menghindari  Abraha dan
pasukannya yang akan  memasuki  kota  suci  dan